BADUY (Desember 2024) - Pada 23-24 Desember 2024, Gerakan Cerdas Komunikasi Indonesia (GCKI) menggelar ekspedisi ke Baduy Dalam yang diikuti berbagai kalangan masyarakat, mulai dari pegawai rumah sakit, mahasiswa hingga anggota lembaga dakwah. Tujuan utama ekspedisi ini adalah untuk lebih mengenal kehidupan suku Baduy Dalam yang terkenal dengan keunikannya, seperti tidak berbaur dengan masyarakat luar, menghindari teknologi dan modernitas, serta menjaga kelestarian alam. Baduy Dalam juga dikenal dengan keyakinan Sunda Wiwitan yang mengajarkan penghormatan kepada alam dan kedamaian semesta.
Peserta ekspedisi memulai perjalanan dari Terminal Cijahe menuju area Baduy Dalam di Cibeo, sekitar 5 km, yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Sejak awal perjalanan, hujan rintik menemani langkah-langkah mereka, menambah kesan alami dan penuh tantangan. Meskipun kondisi cuaca tidak mendukung, peserta tetap semangat menapaki jalanan berbatu menuju daerah yang menjadi kediaman suku Baduy Dalam.
Setibanya di Baduy Dalam, peserta diajak tinggal bersama keluarga suku Baduy, merasakan kehidupan yang sangat sederhana dan selaras dengan alam. Mereka tidur di "samak" atau tikar pandan, makan menggunakan piring kayu, dan minum dari gelas bambu. Kegiatan sehari-hari yang sangat dekat dengan alam ini mengajarkan kepada peserta untuk menghargai setiap detail kehidupan yang sering terlupakan di dunia modern.
Selain itu para peserta juga belajar untuk mandi dan mencuci pakaian di sungai yang jernih, memasak menggunakan kompor "hawu" (arang), dan pada malam hari hanya diterangi sinar bulan serta sepercik api dari "cempor" atau "sentir", alat penerangan dari minyak sayur. Ketiadaan listrik ataupun teknologi di sana memberikan pengalaman yang jauh dari kehidupan modern yang serbacepat dan canggih.
Wahyu Fauziah, pegawai rumah sakit, menyatakan, “Awalnya saya merasa sangat asing dengan kehidupan tanpa teknologi dan modernitas seperti ini. Namun, setelah berada di sini, saya merasakan kedamaian yang luar biasa. Suku Baduy Dalam sangat menjaga ketenangan, tidak ada suara bising atau gangguan dari luar. Ini menjadi pengalaman yang membuka mata saya bahwa hidup bisa sangat sederhana dan damai.”
Yasmin, mahasiswa PTIQ, juga memberikan pernyataan, “Saya datang ke Baduy Dalam dengan harapan bisa melihat kehidupan yang lebih dekat dengan alam dan jauh dari kehidupan kota yang penuh kebisingan. Saya sangat terkesan dengan cara mereka hidup yang sangat alami. Setiap aktivitas yang mereka lakukan selalu mengutamakan harmoni dengan alam. Ini menjadi pengingat bagi saya tentang pentingnya menjaga bumi.”
Adapun Endri yang mewakili tour guide dari Saba Budaya Baduy menyatakan, “Bagi kami, ekspedisi ini lebih dari sekadar wisata. Kami mengenalkan kepada peserta untuk melihat langsung bagaimana suku Baduy Dalam menjaga kelestarian budaya mereka. Dalam perjalanan ini, saya merasa sangat antusias mendampingi dan mengajari peserta untuk menghargai alam, di mana suku Baduy Dalam hidup tanpa melibatkan teknologi, hanya mengandalkan apa yang ada di sekitar mereka, itu sangat menginspirasi.”
Irfan Ardian dari GCKI juga menjelaskan, “Sebagai bagian dari lembaga GCKI, saya merasa sangat penting untuk mengenalkan kepada masyarakat tentang keberagaman dan kebudayaan lokal yang sangat kaya, salah satunya adalah suku Baduy Dalam. Kehidupan mereka yang sangat sederhana justru mengajarkan kepada kita untuk lebih dekat dengan alam dan Tuhan. Ini adalah bentuk dakwah yang tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga menghargai kehidupan dan kedamaian.”
Selama berada di Baduy Dalam, peserta tidak hanya diajari cara hidup sederhana, tetapi juga dihormati dengan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi masyarakat Baduy. Mereka yang dikenal dengan sikap rendah hati dan tidak berbicara keras atau kasar selalu menjaga keharmonisan dengan alam dan sesama.
Salah satu tokoh yang menemui peserta ekspedisi adalah Sangsang, salah seorang penduduk tetap Baduy Dalam. Dalam percakapan dengan Sangsang, terungkap betapa pentingnya bagi mereka untuk menjaga keseimbangan alam dan tidak terseret oleh godaan dunia luar. Sangsang menegaskan, “Kami hidup dengan alam dan kami percaya bahwa kebahagiaan sejati datang dari kedamaian. Kami tidak memerlukan modernitas, karena kami sudah cukup dengan apa yang diberikan oleh alam.”
Refleksi dan Pesan dari GCKI
Perjalanan ini menjadi sangat bermakna bagi peserta, terutama dalam mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga alam dan kedamaian. Kegiatan ini juga menjadi wadah untuk mempererat cinta bangsa, terutama dalam konteks lokalitas berbasis Islam. Sebagai organisasi yang peduli pada perbedaan, GCKI melalui GCKI Expedition Baduy 2024 yang disukseskan atas peran Tim Pengurus Hassa Yanura Khairina, Muhammad Rafi, Irfan Ardian, Rumaisha Adiba, M. Rizki Batubara, dan Hafidz Fortunanda ini berkomitmen untuk terus memperkuat gerakan cinta Tanah Air dan kedamaian, dengan mengedepankan nilai-nilai yang didasarkan pada ajaran agama dan kearifan lokal.
Ke depan GCKI berencana melanjutkan kegiatan-kegiatan serupa yang bertujuan mempererat hubungan antar-berbagai komunitas, tidak terbatas pada suku Baduy. Semangat untuk menjaga kedamaian berbasis lokalitas serta mengedepankan nilai-nilai Islam yang mendalam akan terus menjadi bagian dari visi besar GCKI.
Pengalaman membersamai kehidupan sederhana di Baduy Dalam menginspirasi kita untuk kembali ke titik nol di mana kita dapat meresapi makna dari alam yang sunyi dan damai. Sebuah pengalaman yang sangat berharga di tengah hiruk-pikuk dunia yang penuh dengan kepalsuan.
Penulis: Hassa Yanura Khairina
Editor : Bahtiar Heraudie