Patut diapresiasi yang setinggi-tingginya pada para korban yang muncul memberikan kesaksianuntuk mengungkap praktik-praktik tidak manusiawi yang berlangsung selama bertahun-tahun di balik panggung sirkus yang seolah hanya hiburan keluarga. Korban, Vivi yang akhirnya berani bersuara mengungkap pernah disetrum pada tahun 1997, namun baru berani buka suara setelah lebih dari dua dekade. Ini menunjukkan adanya tekanan psikologis dan ketakutan ekstrem akibat relasi kuasa. Begitu juga, Butet yang pernah dipaksa makan kotoran gajah – sebuah bentuk pelecehan fisik dan psikologis ekstrem. Juga Ida yang mengalami kelumpuhan akibat jatuh saat atraksi sirkus, dan tidak mendapat perlindungan ataupun hak medis yang layak. Belum lagi dua orang yang tewas karena kecelakaan dalam permainan sirkus, tragisnya kuburannyapun entah di mana.
Indikasi Perdagangan Manusia dan Eksploitasi
Kasus ini berpotensi kuat masuk dalam kategori perdagangan manusia, sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, karena unsur perekrutan dengan pemaksaan dan penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, eksploitasi kerja dan tubuh korban untuk keuntungan ekonomi juga minimnya perlindungan, hak, dan suara korban dalam kontrak kerja. Karena itu, sebagai institusi yang menaungi Oriental Circus IndonesiaTSI tidak bisa melepaskan tanggung jawab moral dan hukum, karena kasus ini terjadi di bawah operasional dan pengelolaan mereka.Perlu audit menyeluruh, transparansi proses hukum, dan permintaan maaf publik, serta komitmen perbaikan sistemik. Di sini, pemerintah wajib mengusut kasus ini secara independen melalui aparat penegak hukum dan lembaga HAM, memberi perlindungan dan pemulihan kepada korban, mengomunikasikan kasus secara adil dan terbuka, agar tidak ada lagi praktik tutup mulut akibat tekanan korporasi. Kementerian Sosial, KPAI, Komnas HAM, dan lembaga pendamping korban harus turun langsung, bukan hanya sebagai pengawas tapi juga fasilitator keadilan.
Lebih penting lagi, opini publik sebagai kekuatan perlawanan pada relasi kuasa antara korporasi besar seperti TSI dan para korban hanya bisa dilawan dengan kekuatan opini publik yang konsisten menyuarakan keadilan, menekan pihak berwenang agar tidak diam, meningkatkan kesadaran bahwa hiburan tidak boleh dibangun di atas penderitaan manusia.
Seruan Gerakan Cerdas Komunikasi Indonesia (GCKI)
Jika terbukti laporan korban ini benar, GCKI terkait kasus sirkus di TSI mengimbau boikot terhadap Taman Safari Indonesia sebagai bentuk sanksi sosial, aktif menyuarakan keadilan melalui media sosial dan media konvensional; melibatkan tokoh masyarakat, influencer, akademisi, dan aktivis untuk menyuarakan kasus ini secara luas; mendorong ruang edukasi, diskusi, konsultasi, dan advokasi bagi masyarakat dan korban. GCKI juga membuka tangan kepada semua pihak untuk berkolaborasi membentuk sistem komunikasi publik yang berpihak pada keadilan dan kebenaran.
Kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap manusia dalam industri hiburan ini bukan hanya luka masa lalu, tapi juga panggilan bagi semua pihak untuk tidak menormalisasi kezaliman demi profit.“Diam adalah bentuk kekerasan yang paling halus. Saat satu suara berani muncul, ribuan suara lain punya kewajiban untuk menggemakannya.”
Ingat dalam Surah An-Nisa’ (4:135), "Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu..." Ayat ini memerintahkan umat Islam untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, bahkan jika itu melawan kepentingan pribadi atau keluarga sendiri.*** (Penulis Ellys Lestari Pambayun/Editor Bahtiar Heraudie)