Logo 2 (1)
Makna Komunikasi Empatik pada Idul Adha: Dua Sisi Realitas

Di setiap masjid dan sepanjang jalan, pada Idul Adha 1446 H ini masih terlihat antrian dan kerumunan orang-orang menunggu pembagian daging sapi atau kambing yang dipotong panitia. Ini adalah pemandangan yang mengharukan dan membahagiakan; mengharukan karena masih tingginya empati umat Muslim dalam berkurban untuk menebar kasih sayang di antara sesama dan meraih keridhaan-Nya, dan membahagiakan karena melihat senyuman juga wajah-wajah ceria di antara mereka yang sebentar lagi bisa masak gulai atau sate di rumah bersama keluarga. Namun di sudut rumah, jalanan, warung-warung masih didapati wajah-wajah kecewa, tersenyum kecut, bahkan beku. Kenapa ya?

Di beberapa daerah seperti Pondok Terong Depok dan Kabupaten Bogor, terdapat keluhan dari masyarakat terkait ketidakmerataan pembagian daging kurban. Beberapa warga merasa tidak mendapatkan bagian, sementara yang lain menerima lebih dari yang dibutuhkan. Hal ini menimbulkan kekecewaan dan rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat. Salah satunya Ridho, seorang pemuda (20) yang beradik tiga dengan orang tua yang sudah uzur, menyatakan, “Sudah beberapa kali Idul Adha, keluarga saya tidak pernah dapat pembagian hewan kurban dari masjid atau panitia di sini.” Saat ditanya apakah sudah bertanya pada panitia atau aparat RT atau RW setempat, jawabnya hanya mengangkat bahu, sambil menjawab, “Sudah bosan dan malu….”

Lalu, Mila, pedagang buah di seputaran Bojonggede Kab. Bogor juga menuturkan kesedihannya tidak mendapatkan hewan kurban yang hanya bisa dia dan keluarga nikmati setahun sekali. Karena, mereka adalah keluarga pendatang dan tidak memiliki KTP setempat. Dan, berapa banyak lagi masyarakat yang tidak memiliki kesempatan memakan hewan kurban?

Apa Itu Komunikasi Empatik?

Idul Adha bukan hanya perayaan ritual tahunan umat Islam, tetapi juga momentum untuk menumbuhkan komunikasi empatik—yaitu komunikasi yang didasarkan pada rasa empati, kepedulian, dan pengertian terhadap sesama. Dalam konteks kurban, komunikasi empatik terwujud dalam sikap berbagi, keikhlasan, dan perhatian terhadap mereka yang membutuhkan. KH. Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menekankan pentingnya gotong royong dan solidaritas dalam umat Islam, termasuk dalam pelaksanaan kurban sebagai wujud kepedulian sosial.

Meyer, Boster, & Hecht (1988) mendefinisikan komunikasi empatik sebagai proses penyampaian pesan di mana seseorang mampu merasakan, memahami, dan membagikan perasaan orang lain secara mendalam. Dalam komunikasi ini, tidak hanya kata-kata yang disampaikan, tetapi juga perasaan dan pengalaman yang mampu membangun hubungan yang harmonis dan penuh pengertian antara komunikator dan komunikan.

Empati sebagai kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain mendorong terjadinya komunikasi yang lebih manusiawi, memperkuat ikatan sosial, dan mengurangi konflik. Learning Mind bahkan menyebut komunikasi empatik sebagai keterampilan dasar dalam hubungan sosial dan profesional yang sehat.

Komunikasi empatik pada Idul Adha mengandung makna mendalam tentang kepedulian sosial dan pengorbanan. Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, pengorbanan bukan hanya tentang materi, tetapi juga tentang niat tulus untuk memenuhi perintah Allah dan membantu sesama. Dalam hal ini, komunikasi empatik berarti menyampaikan kepedulian melalui tindakan nyata, seperti menyembelih dan membagikan daging kurban kepada yang membutuhkan (UII – Al Rasikh).

Teladan Komunikasi Empatik: Rasulullah SAW

Dalam Islam, kurban adalah bentuk ibadah yang mengandung nilai sosial tinggi. Menurut ajaran Islam, daging kurban sebaiknya dibagikan kepada keluarga, tetangga, dan fakir miskin. Hal ini mencerminkan pentingnya berbagi dan keadilan sosial dalam masyarakat.

Sebagai contoh, Pemerintah Kota Semarang berupaya mendistribusikan daging kurban hingga ke wilayah pinggiran seperti Kecamatan Genuk, Banyumanik, dan Gunungpati, untuk memastikan masyarakat kurang mampu juga menerima manfaat dari kurban.

Rasulullah SAW mencontohkan komunikasi empatik melalui sikapnya yang selalu peduli terhadap sesama. Dalam hadis riwayat Tirmidzi, disebutkan bahwa amalan yang paling dicintai Allah pada Hari Raya Kurban adalah menyembelih hewan kurban. Daging kurban akan datang pada hari kiamat beserta tanduk, bulu, dan kuku-kukunya, dan sebelum darahnya jatuh ke tanah, pahalanya telah diterima di sisi Allah.

Bahkan, dalam hadis lainnya lebih tegas Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa yang memiliki kemampuan untuk berkurban tetapi tidak melakukannya, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami." (HR. Abu Dawud)

Sudah sering masyarakat, akademisi, aktivis, dan tokoh Islam mengkritik pemerintah daerah terkait penyelenggaraan pembagian hewan kurban yang dianggap tidak efektif dan tidak kondusif. Distribusi yang tidak merata dan kurangnya koordinasi antara panitia kurban dan pemerintah daerah menjadi sorotan utama.

Sebagai contoh, di Kabupaten Semarang, meskipun ada upaya untuk mendistribusikan daging kurban ke wilayah pinggiran, masih terdapat masjid dan musala yang tidak mendapatkan hewan kurban (Okezone).

Kesimpulan

Idul Adha adalah momen untuk menumbuhkan komunikasi empatik melalui tindakan nyata dalam berbagi dan peduli terhadap sesama. Namun, tantangan dalam pemerataan distribusi hewan kurban masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah dan masyarakat.

Diperlukan koordinasi yang lebih baik, transparansi, dan kesadaran sosial untuk memastikan bahwa setiap lapisan masyarakat, terutama yang kurang mampu, dapat merasakan manfaat dari ibadah kurban. Maka, mari jadikan Idul Adha sebagai titik tolak untuk memperkuat solidaritas dan membangun komunikasi empatik yang nyata dalam kehidupan sehari-hari (Detik).


Penulis: Ellys Lestari Pambayun
(Founder Gerakan Cerdas Komunikasi Indonesia/GCKI dan Penulis Buku Teori Komunikasi dalam Lima Sila, Penerbit Simbiosa Rekatama, 2024)

Editor: Bahtiar Heraudie

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *