Komunikasi gender adalah pendekatan untuk memahami interaksi berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang dikonstruksi secara sosial. Perspektif ini sering kali menciptakan pandangan yang tidak adil dan tidak memanusiakan lawan jenis, yang pada akhirnya berkontribusi pada meningkatnya kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi terhadap perempuan.
Beberapa faktor utama berikut ini merupakan pemicu perilaku diskriminatif:
- Kurangnya pemahaman tentang komunikasi yang adil dan insani antarjenis kelamin.
- Bias misoginis dalam ajaran agama atau institusi ortodoks.
- Ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap perbedaan pola pikir, bahasa, dan pola komunikasi antarjenis kelamin.
Dominasi komunikasi laki-laki menjadi standar sosial yang memperkuat diskriminasi di berbagai lapisan masyarakat. Perdebatan agama, referensi yang keliru, dan kurangnya pemahaman mendasar tentang eksistensi gender dalam komunikasi juga memperparah masalah ini. Beberapa cendekiawan muslim progresif seperti Qasim Amir, Nasr Hamid Abu Zayd, Riffat Hassan, Amina Wadud, dan Fatimah Mernisi telah berupaya melawan bias gender dalam tafsir Al-Qur’an. Mereka mendukung keadilan sosial, kesetaraan, dan pluralisme sebagai upaya melawan patriarki yang mendominasi masyarakat tradisional dan konservatif.
Bias gender dalam komunikasi berdampak signifikan pada hilangnya lingkungan ramah perempuan, baik di keluarga maupun masyarakat, serta memicu kekerasan verbal (catcalling, body shaming) dan nonverbal (pelecehan, pemukulan, pembunuhan). Kasus kekerasan ini terjadi pada berbagai ruang domestik dan publik seperti suami terhadap istri, majikan terhadap pekerja, hingga teman kerja terhadap perempuan. Penelitian menunjukkan bahwa bias gender juga terjadi di sekolah dan menjadi penyebab konflik rumah tangga, termasuk perceraian akibat komunikasi buruk. Data Komnas Perempuan 2017 mencatat kekerasan di ranah personal menempati 75% kasus, dengan kekerasan fisik dan seksual mendominasi. Masalah ini juga berkaitan dengan kegagalan komunikasi interpersonal, yang sering berujung pada kekerasan ekstrem.
Pandangan bias gender sering diperkuat oleh tradisi patriarki dan penafsiran keagamaan yang tidak adil. Fakih (1996) menyebut bahwa agama kerap dituding sebagai penyebab ketidakadilan gender, meskipun masalah ini lebih terkait pada interpretasi patriarkal. Komunikasi gender menghadapi tantangan besar dalam membedakan pandangan yang adil dari bias sosial yang melekat.
Pascastrukturalisme mengkritik strukturalisme dalam komunikasi gender. Hekman dan Hirschmann menilai bahwa komunikasi itu tidak netral dan dipengaruhi oleh ekspresi bahasa serta pandangan dunia. Lyotard menolak narasi besar (metanarrative) yang dianggap objektif, tetapi sebenarnya relatif. Wood dan Harding (berperspektif Marxian) menyatakan bahwa nilai perempuan ditentukan oleh laki-laki dalam struktur sosial patriarki. Gender dipandang sebagai konstruksi budaya, bukan karakter biologis. Mereka menekankan bahwa diskriminasi gender berasal dari budaya, bahasa, dan simbol, bukan masalah nilai moral.
Pendekatan bebas nilai dalam komunikasi gender dinilai bias dan sarat kepentingan ideologis. Teori komunikasi gender seperti standpoint theory dan feminist communication theory sering memihak kelas tertentu. Derrida menyoroti bahwa narasi yang ditransmisikan secara terus-menerus membentuk kesadaran masyarakat, bahkan dapat menjadi alat diskriminasi. Secara keseluruhan, komunikasi gender tidak bebas nilai, tetapi dipengaruhi oleh kepentingan sosial dan budaya. Nasif (2001) menjelaskan bahwa pandangan patriarkis yang membungkam perempuan telah menjadi tradisi di berbagai peradaban seperti Cina, India, Yunani, dan Asia, bahkan didukung sebagai perintah Tuhan. Dalam Islam, patriarki diperkuat oleh interpretasi fikih gender yang menyebut suara perempuan sebagai aurat dan fitnah, merujuk pada QS Al-Ahzab: 32 dan QS An-Nur: 31. Pandangan ini didukung oleh hadis dan kitab-kitab fikih, meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Najib (2017) dan penelitian lain seperti oleh Gunawan dan Marhumah menunjukkan bahwa budaya berperan besar dalam memperkuat bias gender, termasuk di pesantren. Produk pemikiran agama sering kali menjadi dasar pembedaan gender yang memengaruhi komunikasi perempuan, baik di ruang privat maupun publik. Praktik ini melanggengkan kekerasan berbasis gender yang terus berlangsung di masyarakat. Coates (2004) menjelaskan bahwa ideologi patriarki membentuk pembedaan peran sosial sejak lahir hingga akhir hayat, di mana gender dikonstruksi melalui sosial-budaya. Bayi laki-laki atau perempuan diasosiasikan dengan warna, pakaian, dan mainan yang sesuai dengan identitas gender mereka. Serna (2019) menegaskan bahwa sejak lahir perempuan sudah diarahkan ke panggung gender tertentu, seperti kamar berwarna merah muda, boneka Barbie, dan pakaian berenda. Sebaliknya bayi laki-laki diasosiasikan dengan warna biru, mainan robot atau mobil-mobilan, dan tidak pantas atas atribut feminin seperti pita atau jepit rambut.
Meski perbedaan komunikasi antarjenis kelamin sering dianggap kodrati, “pembedaan” ini merupakan produk patriarkis yang terbentuk melalui sosial-budaya dan agama. Hyde (2014) menjelaskan bahwa perempuan cenderung menggunakan komunikasi feminin seperti sopan, vokal halus, dan empatik, sementara laki-laki menggunakan komunikasi maskulin seperti tegas, terus terang, dan vokal kuat. Fakih (1999) menambahkan bahwa dikotomisasi gender menciptakan stereotip perempuan sebagai lemah lembut dan emosional, sedangkan laki-laki dianggap kuat dan perkasa, yang memperkuat relasi superior-inferior.
Di sekolah, Iqbal dan Azhar (2018) menemukan bahwa anak laki-laki lebih aktif berbicara dan menyela saat diajari guru perempuan, tetapi menjadi pasif dengan guru laki-laki. Sebaliknya siswa perempuan lebih aktif dengan guru laki-laki, tetapi pasif dengan guru perempuan.
Komunikasi gender dalam Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an, berbeda dari pendekatan Barat yang bebas nilai dan relatif. Teori komunikasi gender Barat bersifat historis, terikat pada konteks sosial, politik, dan budaya tertentu yang dihadapi para tokohnya.
Al-Qur’an memberikan pemahaman yang komprehensif tentang “pembedaan” komunikasi gender melalui tiga dimensi berikut.
- Ontologis: Islam memandang komunikasi gender sebagai sesuatu yang bernilai dan tidak sekadar sebagai konstruksi sosial. Contoh dari komunikasi yang setara antara perempuan dan laki-laki dapat dilihat pada pola komunikasi Nabi Sulaiman yang menghargai kebebasan suara perempuan dalam berdiplomasi dengan Balqis (QS. An-Naml [27]: 29-39), serta dalam hubungan Nabi Ibrahim dengan Sarah dan Hajar, Nabi Nuh dengan istrinya, dan Rasulullah dengan kaum perempuan. Ini menunjukkan kesetaraan dalam peran komunikasi antara laki-laki dan perempuan sebagai bentuk kasih sayang Allah, bukan sebagai hasil konstruksi sosial-budaya.
- Metodologis: Al-Qur’an menjadi landasan untuk menganalisis komunikasi gender dalam Islam, bertolak belakang dengan sains Barat yang menganggap ilmu sebagai bebas nilai. Dalam studi Islam, wahyu menjadi sumber utama yang mengonfirmasi bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang setara. Beberapa ayat Al-Qur’an (seperti QS. Al-Baqarah [2]: 228 dan QS. An-Nisa’ [4]: 34) menegaskan bahwa Allah membalas amal saleh tanpa membedakan jenis kelamin.
- Epistemologis : Islam mengakui pentingnya nalar dan ilmu pengetahuan, tetapi tetap menjunjung wahyu sebagai sumber utama pengetahuan. Dalam hal komunikasi gender, Al-Qur’an memberikan banyak petunjuk yang relevan untuk memahami hubungan komunikasi antara laki-laki dan perempuan, dengan tidak mengabaikan pendekatan ilmiah yang berlandaskan wahyu.
Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa komunikasi adalah fitrah manusia, yang tecermin dalam QS. Ar-Rahman [55]: 1-4. Dalam ayat ini, istilah al-bayan (komunikasi) diartikan oleh Al-Syaukani sebagai kompetensi komunikasi yang menandakan bahwa Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dengan kemampuan untuk berkomunikasi, termasuk memahami apa yang ada dalam hati mereka. Ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa berkomunikasi, yang membutuhkan bahasa untuk menyampaikan makna yang saling dipahami.
Al-Qur’an juga memberikan petunjuk mengenai pentingnya “bersuara” dan menyuarakan ketidakadilan, sebagaimana tecermin dalam QS. Al-Mujādalah [58]: 1, yang mengisahkan gugatan seorang perempuan terhadap suaminya yang melakukan zihar (pernyataan yang menyamakan istri dengan ibu). Ini mengajarkan bahwa suara perempuan penting dalam memperjuangkan haknya.
Perbedaan peran komunikasi antara laki-laki dan perempuan dalam Al-Qur’an terlihat dalam peran mereka dalam komunikasi. Perempuan digambarkan sebagai pendengar dan penerima pesan, sementara laki-laki sebagai pembicara dan pengirim pesan.
Meski demikian keduanya memiliki peran yang saling melengkapi dan tidak ada yang lebih dominan. QS. An-Nisa’ [4]: 34 menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, tetapi hubungan ini diharapkan didasari oleh komunikasi yang penuh hikmah dan saling pengertian.
Ayat-ayat Al-Qur’an juga mengandung nilai-nilai komunikasi gender seperti perintah untuk berbicara dengan cara yang baik (qaulan ma’rufa), tidak mengolok-olok (qaulan layyina), dan saling menolong serta melindungi. Berbagai tafsir, baik klasik maupun kontemporer, mengungkapkan bahwa komunikasi dalam konteks gender harus berdasarkan penghargaan terhadap satu sama lain dan menjunjung nilai-nilai kebaikan. Meskipun terdapat perdebatan di kalangan mufasir dan pemikir Barat, pentingnya kajian komunikasi gender dari perspektif Al-Qur’an belum banyak diangkat. Penelitian yang menghubungkan komunikasi gender dengan tafsir Al-Qur’an masih terbatas, baik dalam jurnal internasional maupun nasional. Hal ini menunjukkan adanya kekosongan yang perlu diisi dengan kajian lebih mendalam mengenai komunikasi gender dalam konteks nilai-nilai Islam.
Komunikasi gender, baik dalam struktur, konsep, maupun asumsi yang berkembang, diakui memiliki kekuatan yang tidak bisa dimungkiri sebagai kerangka untuk memahami perbedaan komunikasi antarjenis kelamin. Meskipun konsep ini harus dihargai sebagai pemahaman terhadap dinamika komunikasi gender, jika diterapkan sebagai paradigma komunikasi umat Islam, pengembangan komunikasi gender harus tetap kritis dan tidak diterima begitu saja.
Penafsiran Al-Qur’an dalam konteks komunikasi gender membuka ruang untuk pemikiran konstruktif yang dapat mendorong perubahan dan kemajuan, sekaligus memperkaya perspektif studi ini. Persinggungan antara Al-Qur’an dan karya-karya feminis dalam komunikasi gender seharusnya dilihat sebagai reaktualisasi yang memperkaya pemahaman kita tentang kajian ini melalui verifikasi dan justifikasi Al-Qur’an dan hadis, untuk menemukan penjelasan yang objektif dan tidak bias.
Upaya penafsiran tanpa bias menjadi langkah penting dalam mengatasi kesenjangan nilai dalam komunikasi gender, dengan tujuan membangun skeptisisme terhadap paradigma Barat tanpa menolaknya sepenuhnya. Studi komunikasi gender dapat dianggap relevan di beberapa masyarakat, tetapi tidak di masyarakat lainnya.
Sebagai contoh, Rasulullah saw. berhasil mengubah paradigma masyarakat jahiliah yang memosisikan perempuan sebagai “yang lain” dan tidak pantas didengar suaranya menjadi paradigma tauhid yang memanusiakan dan membebaskan perempuan. Ini membuka jalan bagi perubahan peradaban yang lebih menghargai perempuan. Sebagaimana dinyatakan oleh Kuhn, perubahan paradigma adalah suatu keniscayaan, yang sejalan dengan dinamika pemikiran manusia yang terus berkembang.
Oleh karena itu penting untuk mengangkat gagasan ini guna melakukan reaktualisasi dan pengembangan konsep komunikasi gender dengan pendekatan tafsir Al-Qur’an dan hadis, sambil tetap mempertahankan relevansi terhadap pemikiran Barat dalam kondisi kekinian.
Peringkas: Anwar Muhammad Hisyam dan Muhammad Irfan
Editor: Bahtiar Heraudie (Tim Redaksi Gerakan Cerdas Komunikasi Indonesia/GCKI)
Sumber: Ellys Lestari Pambayun, Komunikasil Gender Perspektif Islam, Bandung: PT Simbiosa Rekatama Media, 2024