Dalam kesempatan menjadi narasumber pada acara focus group discussion (FGD) yang digelar Himakopi Universitas PTIQ Jakarta dan Dema FUD IIQ Jakarta di Aula IIQ (Institut Ilmu Al-Qur’an), Sabtu, 21 Oktober 2023, tentang isu dan wacana “penghapusan skripsi” di perguruan tinggi oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim, founder Gerakan Cerdas Komunikasi Indonesia (GCKI) yang juga dosen Fakultas Dakwah dan Komunisasi Islam di Universitas PTIQ, Ellys Lestari Pambayun, tampil didampingi narasumber lain, yaitu Sutia Budi, M.Si Warek I ITB Ahmad Dahlan Jakarta dan perwakilan dari Wali Kota Tangsel.
Acara ini digelar karena ingin memberikan catatan penting untuk bersama-sama dipikirkan dan dicari solusinya sehingga tidak menjadi bola salju yang bergulir tanpa arah.
Kehebohan terjadi di kampus-kampus Tanah Air karena turunnya Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang penghapusan skripsi ini juga menghapus kewajiban bagi lulusan S-2 dan S-3 untuk membuat makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah terakreditasi atau jurnal ilmiah internasional. Ada yang salah?
Sesungguhnya Nadiem hendak merespons kondisi psikologis mahasiswa yang sering kali menjadikan skripsi sebagai momok yang menakutkan, khususnya bagi mahasiswa semester akhir. Saat mulai menyusun laporannya, para mahasiswa sering menilai skripsi sebagai tugas yang sangat berat. Bahkan banyak mahasiswa yang akhirnya “menyerah” sebelum lulus kuliah. Gugurnya satu mahasiswa di sebuah perguruan tinggi karena skripsi tentu saja menjadi perhatian pemerintah dan banyak kalangan, khususnya akademisi, untuk merumuskan suatu kebijakan agar skripsi ini tidak menjadi satu-satunya pintu gerbang mahasiswa menuju sarjana.
Apa itu Skripsi?
Dari sisi sejarah, mulanya skripsi diberlakukan di perguruan tinggi, khususnya bagi mahasiswa S-1, pada budaya akademik di Eropa, Abad Pertengahan, yaitu jika seorang pekerja ingin menjadi anggota asosiasi, dia harus membuktikan keahliannya dengan menghasilkan suatu karya, yang disebut masterpiece. Bukan hanya mengajukan curriculum vittae atau surat lamaran, ya. Karya ini kemudian diperiksa oleh para pengurus asosiasi dan, kalau yang bersangkutan dinyatakan lulus, dia akan digelari “master“ (ahli) di bidangnya dan diterima menjadi anggota asosiasi. Saat perguruan tinggi didirikan, para pengelolanya mengadopsi praktik itu sebagai syarat bagi seseorang yang ingin memperoleh gelar sarjana. Para pembelajarnya harus terlebih dahulu membuktikan diri mampu melaksanakan penelitian ilmiah dengan baik dan tepat.
Di Indonesia, skripsi diberlakukan dengan kata “wajib” hampir di seluruh perguruan tinggi di masa Orde Baru. Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan mewajibkan mahasiswa menulis skripsi, antara lain sebagai berikut.
- Pengembangan ilmu pengetahuan melalui kemampuan mahasiswa dalam melakukan penulisan dan penelitian mandiri, juga untuk mengembangkan keterampilan yang diperlukan bagi kariernya di masa depan.
- Memberikan suatu cara yang dapat mahasiswa gunakan untuk membuktikan kemampuannya melalui penelitian dengan standar profesional dan mengomunikasikannya secara profesional pula.
- Untuk meningkatkan keahlian umum mahasiswa di bidang yang telah ia pilih.
Sisi positif dari skripsi tentu saja sangat banyak, selain yang disebutkan di atas. Karena banyak penulis, konseptor, dosen, analis, peneliti, dan profesional yang lahir dari produk skripsi. Penulis pun telah menerbitkan puluhan buku, dari yang solo writer maupun bookchapter, baik yang diterbitkan di penerbit mayor (nasional) maupun penerbit minor (lokal). Skripsi yang penulis susun saat kuliah di Fikom Unpad, misalnya, telah diterbitkan dengan banyak penambahan, berjudul “Communication Quotient dalam Pendekatan Emosional dan Spiritual”, pada Penerbit Rosdakarya Bandung-2012. Lantas tesis penulis diterbitkan menjadi buku “Mengkritisi Pornografi: Pandangan Feminisme” (yang semula berjudul “Birahi Maya: Mengintip Perempuyan di Cyberporn”) oleh Penerbit Nuansa Cendekia Bandung, 2010 dan disertasi penulis pun tengah dalam proses penerbitan dengan judul “Komunikasi Gender dalam Perspektif Islam” pada Penerbit Simbiosa Rekatama Bandung. Selain itu penulis menjadi konsultan, konseptor, editor, dan peneliti di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta.
Namun proses pembuatan skripsi dianggap berat dan sering kali menjadi konflik di antara dosen-mahasiswa, dosen-dosen, dosen-institusi. Di antara dilema tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut.
- Skripsi mahasiswa sering kali ditentukan oleh dosen pembimbing, meski si mahasiswa sudah memiliki judul, metodologi, teori, dan data sendiri. Bukan diarahkan, tetapi justru diubah sesuai dengan keinginannya dan batas kemampuan dosen tersebut, bukan kemampuan mahasiswa. Misalnya mahasiswa yang memiliki judul “Analisis Komunikasi Politik Partai Bebasis Islam di Pemilu 2024: Suatu Kajian Fenomenologi”. Karena dosennya tidak paham metode fenomenologi, si mahasiswa diminta menggantinya dengan studi kualitatif deskriptif. Nah, hal ini akan menjadi rancu dan fatal bagi mahasiswa tersebut karena dipaksa untuk mengubah suatu pendekatan yang sudah tepat menjadi tidak jelas metodologinya. Karena metode kualitatif itu jenisnya sangat banyak, variannya beragam dalam melihat setiap realitas atau fenomena sosial.
- Banyak dosen yang tidak memiliki kapasitas membimbing menjadi pembimbing utama dan sulit ditemui karena kesibukan. Yang lebih parah jika dosen membimbing skripsi dengan judul yang bukan bidangnya atau membimbing skripsi yang notabene karya tulis, sementara dia sendiri tidak memiliki karya tulis yang baik, bahkan hanya 1-2 artikel selama 10 tahunan. Nol karya tulis malah.
- Kasus dalam sidang juga sangat bikin miris. Banyak dosen yang membimbing skripsi dengan judul yang memang bukan keahliannya, misalnya dosen bidang ekonomi syariah menguji mahasiswa ilmu komunikasi. Masih mending jika judulnya terkait dengan perbankan atau masalah finansial Islam, jika tidak? Atau dosen baru yang menguji mahasiswa dengan konteks yang tidak dikuasainya. Karena tidak tahu tentang teori atau metode tertentu, dia membantai mahasiswa untuk menunjukkan bahwa dia kompeten. Contohnya si dosen meminta mahasiswa untuk menguantifikasi “indeks” dalam kajian semiotika, sementara konsep “indeks” dalam semiotika harus diuraikan secara interprestasi atau pemaknaan, bukan dihitung atau diuji secara statistik.
- Seorang mahasiswa jurusan desain grafis atau seni rupa, jurusan film, atau teknik yang bidangnya lebih pada merancang suatu bangunan dan produksi harus membuat skripsi yang membutuhkan pengalihan otak dan menggeser idealismenya, mencari waktu lagi untuk menyusun kata demi kata. Padahal kreasi atau produk yang sudah dibuatnya telah menunjukkan susunan dari serangkaian pemikiran dan keahlian serta minatnya.
- Mahasiswa bisa lama lulus bila skripsi belum selesai sesuai dengan waktu, karena harus menunggu data dan hasil wawancara yang tidak kunjung dipenuhi informan atau dosen yang tidak juga puas dengan hasil skripsi mahasiswa. Belum lagi ada perguruan tinggi yang memberlakukan harus terbit di jurnal nasional atau berindeks tinggi, minimal Sinta 5, bahkan internasional, baru si mahasiswa dapat maju sidang atau lulus. Jadi mahasiswa harus kerja dua kali, membuat skripsi dan membuatnya terbit di jurnal. Ya, jika cepat terbit di jurnal yang terakreditasi, tetapi bila hasil reviunya lama, lalu dinyatakan tidak lolos, maka si mahasiswa harus cari lagi jurnal yang sesuai dengan bidang keilmuannya. Belum lagi bila jurnalnya ber-APC atau berbayar mahal.
- Mahasiswa juga harus bekerja keras setelah menuliskan skripsi dengan perjuangan yang keras, lalu harus menghadapi “ujian” yang berupa sidang dengan segala persiapannya. Lantas banyak mahasiswa yang mengalami stres karena banyak yang tidak bisa bicara atau menyampaikan hasil karya tulisannya karena “gagap bicara” atau “kurang pandai berargumen”. Apalagi menghadapi dosen penguji yang “killer” dan tanpa ampun.
- Sering kali terjadi konflik antardosen karena masalah skripsi mahasiswa. Di dalamnya klaim kebenaran tentang keilmuan, senioritas, dan otoritas selalu menjadi kunci perselisihan.
- Belum lagi skripsi yang dibuat mahasiswa hanya disimpan di lemari atau ditumpuk di rak perpustakaan kampus. Skripsi bagus dan dosen yang kreatif akan menjadikannya terbit di jurnal nasional atau buku, sedangkan bagi skripsi yang tidak bagus dan dosen yang “malas” akan menyimpannya di lemari institusi. Setidaknya bisa disimpan di researchgate, digilib, neliti.com, academi.com, repository, dan lainnya. Namun bila hasil skripsi mahasiswa tersebut dianggap “tidak layak”, tetapi terbit juga di akun-akun tersebut, hal itu juga akan menjadi bumerang bagi institusinya.
- Kum dan nilai kredit dari pembimbingan dan sidang skripsi juga kecil bagi dosen.
Apakah sistem skripsi ini membebaskan kita? Atau justru dapat mengaktualisasi diri kita? Ini pilihan tentunya.
Jalur Nonskripsi?
Jalur nonskripsi bukanlan hal yang baru. Di masa Soeharto (Orde Baru) juga banyak kampus negeri dan swasta yang sudah menempuh jalur ini bagi kelulusan mahasiswanya. Nonskripsi ini tidak pernah berhenti diberlakukan, hanya kemudian tidak menjadi berita besar karena kampus tersebut menjalankannya dengan baik dan tepat. Hal ini baru menjadi berita kontroversial saat diangkat kembali menjadi sebuah kebijakan dari Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek pada era milenial ini dengan sebutan Kampus Merdeka. Padahal sudah banyak kampus di Indonesia memberlakukan program Kampus Merdeka dengan melihat kondisi dan kapasitas mahasiswanya, di antaranya Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gajah Mada, ITB, Universitas Brawijaya, Universitas Sebelas Maret, Universitas Negeri Surabaya, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember; kemudian yang PTS antara lain Univ. Muhammadyah Malang, Univ. Muhammadyah Surabaya, Univ. Muhammadyah Magelang, LSPR, Univ. Pasundan Bandung, Univ. Islam Riau.
Kampus yang dewasa dan elegan adalah saat pimpinan dan masyarakat kampus (mahasiswa dan tenaga pendidik) mendorong penciptaan lingkungan praktisi atau profesional bagi mahasiswa. Karena sejalan dengan ide Merdeka Belajar atau Kampus Merdeka yang dijalankan di era milenial ini memberikan penjelasan eksplisit bahwa kampus harus dewasa untuk mendewasakan masyarakat kampusnya. Kedewasaan di sini dapat diartikan sebagai penyiapan mahasiswanya sebagai sarjana yang "siap pakai" di dunia kerja profesional melalui penetapan kebijakan dan kualitas dosen yang mendukung.
Untuk jalur nonskripsi Mendikbudristek menyiapkan beberapa aktivitas yang bisa dilakukan.
- Mahasiswa bisa menyelesaikan pendidikan tinggi dengan skema artikel ilmiah pada jurnal internasional bereputasi atau jurnal nasional terakreditasi oleh mahasiswa sebagai penulis utama dan dosen pembimbing sebagai penulis pendamping. Penulisan dapat dilakukan selama perkuliahan berlangsung.
- Kompetisi karya ilmiah. Mahasiswa yang berprestasi dalam kompetisi karya ilmiah akan mendapatkan penyetaraan karya ilmiah setingkat tugas akhir atau skripsi dengan kriteria yang harus dipenuhi mahasiswa, salah satunya dinyatakan layak oleh tim penilai dari fakultas.
- Kelulusan dapat dengan syarat membuat karya lukis (seni rupa), otomotif, robot, seni tari, atau pertunjukan, film dokumenter, ekonomi kreatif, dan lainnya
- Pemakalah terbaik seminar internasional, pemakalah konferensi nasional minimal 3 kali, pemenang mahasiswa berprestasi nasional, nominasi finalis mahasiswa berprestasi tingkat nasional, penulis utama jurnal nasional terakreditasi sebanyak 3 kali, dan lain-lain
- Mahasiswa memiliki IPK minimal 3.5 - 4.00 yang konsisten selama masa kuliah, presensi yang penuh, perilaku yang baik, aktif di organisasi kampus, dan menjadi role model kampus
- Mahasiswa dapat membuat buku fiksi dan nonfiksi selama masa kuliah yang dibimbing dosen, dengan bukti kelulusan adalah ISBN pada buku tersebut atau LoA dari penerbit
- Memiliki prestasi nasional dan internasional di bidangnya: olahraga, seni lukis dan tari/pertunjukan, olah suara, MTQ, dan lainnya.
- Dapat membuat rekayasa sosial, misalnya mahasiswa yang mampu menggerakkan, terus-menerus memberikan motivasi agar masyarakat dapat maju dan sejahtera, mulai dari membantu dengan sumber daya, dana dan fasilitas, memengaruhi kalangan elite dan mengatur administrasinya.
- Menghasilkan prototipe. Pengembangan purwarupa dilakukan di laboratorium dan belum diuji coba kesesuaiannya menurut standar industri sehingga belum dikomersialkan. Contoh pembuatan prototipe software sistem informasi, kendaraan listrik, dan sebagainya
- Pembuatan projek. Hal ini bisa dilakukan secara individual, kolaboratif, atau bersama dosen, seperti menjadi konsultasn, konseptor, analis, peneliti, pemasar, dan lainnya bagi perusahaan dengan membuat suatu model atau rancangan projek; membuat kafé baca, koperasi, BMT, sekolah TPA atau play group, day care, wadah kerajinan tangan atau homemade, perusahaan umrah dan haji, travel turis mancanegara, menjadi konsultan perusahaan, membuat desain pemasaran digital yang sesuai dengan mitra atau sasaran dan lainnya.
- Nilai kum dan kredit lebih tinggi daripada skripsi, juga memiliki nilai tinggi pada kemanfaatannya bagi masyarakat dan pribadi mahasiswa.
Kendala dalam program nonskripsi juga banyak bermunculan seperti pendanaan, fasilitas, sumber daya, akses. Namun hal itu bisa diatasi dengan kerja sama dan konsistensi dari mahasiswa dan dosen pembimbing. Jalur non skripsi ini telah banyak menghasilakan para praktisi dan profesional di bidang masing-masung, masuk pada lembaga pemerintah maupun swasta, menjadi pengusaha. Bahkan, masuk menjadi bagian perusahaan tanpa harus melamar karena sudah memiliki portofolio dalam masa magangnya.
Untuk merealisasi Kampus Merdeka, selain mahasiswa, dosennya pun harus dapat siap dalam kapasitas di bidang masing-masing. Kampus diharapkan dengan konsep Kampus Merdeka dapat bertransformasi menjadi wadah yang bukan hanya sebatas menjadi organisasi perkumpulan pendidik dan mahasiswa, namun harus menjadi wadah praktik bagi para mahasiswa dalam mengimplementasikan apa yang ia pelajari sesuai dengan jurusan masing-masing. Selain itu para pimpinan kampus harus mempertimbangkan untuk mendirikan sarana yang lengkap, wadah baru bagi mahasiswa dalam menampung kekosongan di bidang pemenuhan kebutuhan mahasiswa praktisi. Misalnya melalui penetapan kebijakan di kelas dengan metode yang memancing untuk aktif dalam proses perkuliahan. Atau dapat melalui penjalinan kerja sama dengan instansi pemerintah untuk menampung mahasiswa berdasarkan jurusan masing-masing yang tidak hanya diterima magang selama menjadi mahasiswa namun juga menjadi pertimbangan untuk direkrut sebagai bagian dari instansi tersebut ketika telah lulus dari kampus kelak.
Nah, apakah kebijakan Nadiem menjadi kemunduran atau kemajuan? Tentu saja kemunduran akan terjadi pada dosen dan mahasiswa yang malas dan tidak memiliki kapasitas menjalani keduanya. Artinya semua itu kembali lagi kepada pelaku pendidikan dan anak-anak didiknya.
Wallahu a’lam bisawab.