Afifi Lubis dkk (2024) menyatakan bahwa qaulan maysuran dapat diartikan sebagai kata-kata lembut yang menawarkan petunjuk hidup yang positif dan membawa berkah. Anjuran ini dapat ditemukan dalam berbagai ayat Al-Qur’an yang mengajarkan kebaikan, toleransi, dan moralitas. Qaulan maysuran artinya melakukan ucapan yang pantas atau sopan yang sangat ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Pambayun (2013) menyatakan kesantunan berbahasa menciptakan lingkungan yang ramah dan menyenangkan. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai qaulan maysuran dalam komunikasi, maka reputasi kita sebagai dai tidak hanya profesional, tetapi juga peduli terhadap aspek etika dan moral dalam setiap interaksinya. Kesantunan berbahasa mencakup pemilihan kata yang tidak menyinggung atau merendahkan serta menjaga tone suara agar tetap ramah dan profesional. Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya: “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.” (QS Al-Isra (17): 28)
Proses berpikir dapat terganggu dengan berbagai cara oleh penggunaan bahasa yang tidak tepat. Ketidaktepatan dalam berbahasa akan berdampak pada perilaku yang tidak tepat pula. Maka dari itu, kita harus berpikir dahulu sebelum bertindak. Dalam tafsir Al-Maraghi (Musthofa, 1971) ungkapan qawlan maysuran dalam Al-Qur’an terdapat pada Surat Al-Isra ayat 28. Secara leksikal ungkapan tersebut bermakna perkataan yang mudah. mengartikan ungkapan tersebut dengan makna ucapan yang lunak dan baik atau ucapan janji yang tidak mengecewakan. Dilihat dari kondisi ketika ayat itu turun (asbabunnuzul) sebagaimana diriwayatkan oleh Saad bin Mansur yang bersumber dari Atha al-Khurasani, hal itu terjadi ketika orang-orang dari Muzainah meminta kepada Rasulullah supaya diberi kendaraan untuk berperang fi sabilillah. Rasulullah menjawab, "Aku tidak mendapatkan lagi kendaraan untuk kalian." Mereka berpaling dengan air mata berlinang karena sedih mengira bahwa Rasulullah marah kepada mereka.
Maka turunlah ayat ke-28 Surat Al-Isra ini sebagai petunjuk kepada Rasulullah dalam menolak suatu permohonan supaya menggunakan kata-kata yang lemah lembut. Ibnu Katsir (2000, Jilid 3:50) menyebutkan makna qaulan maysuran dengan makna ucapan yang pantas, yakni ucapan janji yang menyenangkan, misalnya ucapan: "Jika aku mendapat rezeki dari Allah, aku akan mengantarkannya ke rumah."
Bertindak mundur dan mengamati. Kunci pemecahan masalah dalam kekeliruan menangkap maksud pembicaraan adalah dengan mencoba melangkah mundur dan mengamati interaksi dengan sabar, bukan memandang dan menerima interaksi emosional sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari atau dipecah. Kuncinya adalah “lebih menyadari apa yang sedang terjadi dan tidak dibiasakan oleh kecenderungan dan harapan yang dipengaruhi seperti budaya, adat, nilai, keberadaan diri, dan sebagainya yang dimiliki selama ini”.
Kesantunan, saling menghormati, dan pengertian akan menyingkirkan segala kekeliruan maksud dari yang ingin kita sampaikan. QS. An-Najm : 39, “Dan tidaklah manusia memperoleh apa-apa buat dirinya kecuali dari apa yang telah diusahakannya.” Gelar ‘Abd al-Khabir Allah berikan kepada yang memiliki pemahaman yang utuh tentang segala keadaan dan akibat dari peristiwa yang terjadi beserta sifat-sifat-Nya. ‘Abd al-Raqib diberikan pada ia yang selalu menyadari bahwa Allah selalu mengawasi segala eksistensi diri. Membaca ya Raqib dan ya Zahir akan memberikan kita kemampuan untuk melihat hal-hal yang tersembunyi.
Kata-Kata Gaul
Salah satu jenis qaulan maysuran adalah penggunaan kata-kata yang pantas sesuai lawan bicaranya dalam usia, peran, posisi, jabatan, adat, dan lainnya. Bergaul dengan kata-kata yang sesuai dengan zamannya juga boleh saja tapi tetap harus dijaga kepantansan dan kedamaiannya. Di antara kata-kata gaul itu, “Bokap lu ke mana? Kok sepi amat ni rumah?” Kata-kata ini tiba-tiba muncul di masyarakat. Bahasa prokem yang gaul ini bila digunakan dalam situasi formal tentu saja akan terdengar kasar dan sangat tidak sopan, sebenarnya, bahasa prokem awalnya dari bahasa Betawi, tapi mengalami penyimpangan dan pengubahsuaian makna oleh kaum remaja kota yang menetap di Jakarta. Secara islami, kata-kata ini tidak mencerminkan lisan quranian yang mementingkan nilai kesantunan, rendah hati, dan menjaga diri. Tapi, jika disampaikan dengan tujuan hanya karena untuk menyesuaikan dengan lingkungannya, tanpa menyakiti dan melukai, bisa saja digunakan dalam bahsa sehari-hari.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra. terdapat hadis yang berbunyi, “Sesungguhnya, meskipun seorang hanya bicara satu kalimat, tapi secara terang-teranan (ceplas-ceplos), maka ia akan tergelincir ke dalam neraka lebih jauh dari antara Timur dan Barat karena kalimatnya itu.”
Kata-kata cabul menurut KBBI diartikan sebagai keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan dan kesusilaan) justru malah diolah dan dikonsumsi dengan lahap oleh masyarakat kita. Hal ini juga hadir di ruang publik seperti iklan, talk show, reality show, infotainment. Berdasarkan kajian empiris tentang kekuatan kata, kata-kata tak senonoh ternyata dapat mempengaruhi kredebilitas pemakainya. Lalu bagaimana dengan kata-kata cabul yang dikeluarkan dengan cara latah? Ada beberapa penyebab. Berikut ini beberapa di antaranya.
- Teori pemberontakan karena obsesif dan dorongan yang tidak terkendali untuk menyatakan sesuatu.
- Teori kecemasan karena yang bersangkutan memiliki kecemasan terhadap sesuatu tanpa ia sadari.
- Teori pengondisian karena dikondisikan oleh lingkungannya.
Menurut Evi Elviati, Psi., psikolog dari Essa Consulting Group, baik buruknya anak bersikap latah terhadap sang teman tergantung apa yang ditirunya. Jika sifatnya negatif, orang tua harus segera menghentikannya dengan memberikan penjelasan kepada anak.
Jika kita ingin melihat akibat dari perbuatan buruk yang kita lakukan dan kita merasa cemas, dianjurkan untuk membaca ayat, “Ala ya’lam man khalaqo wa huwa al-lathif al-khabir.” Artinya “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kami lahirkan dan rahasiakan)? Dan, Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Mulk: 14).
Kritikan (Naqoda)
Jenis qaulan maysuran lainnya adalah kritikan yang proporsional dan tidak menyakiti lawan bicara kita. Setajam apa pun kritik yang ditusukkan kepada kita tak akan mampu menembus iman yang telah menyusup dan bersemayam di tempat yang kokoh. “Katakanlah, Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu (kemampuan), sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengethui. Siapa pun yang menghinakan pekerjaanmu akan mendapat siksa dan ditimpa azab yang kekal.” (Az-Zumar: 39-40)
Bila kita senantiasa berjalan di titian Allah, jiwa kita akan selalu merdeka dalam mengerjakan apa pun. Begitu pula bila orang lain tergelincir dalam kesalahan, hindari untuk mengkritiknya dan usahakan unutk membantunya sekuat daya.
Penutup
Qaulan maysuran bertujuan untuk memudahkan umat Islam dalam menjalankan ajaran agama. Prinsip qaulan maysuran adalah untuk menghindari beban yang berat dan memilih jalan yang lebih ringan dalam beribadah. Qaulan maysuran diterapkan dalam berbagai aspek hukum Islam seperti ibadah, muamalah, dan hukum keluarga.
- Qaulan maysuran tidak berarti mengabaikan hukum Islam.
- Penerapan qaulan maysuran harus sesuai dengan dalil yang sahih dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Penulis: Cindy Kaysena dan Desty Siti Rahmani
Editor: Bahtiar Heraudie (Tim Redaksi Gerakan Cerdas Komunikasi Indonesia/GTCKI)
Referensi
Pambayun, Ellys Lestari (2012). Communication Quotient: Kecerdasan Komunikasi dalam Pendekatan Emosional dan Spiritual. (Bandung: Remaja Rosdakarya)
Afifi Lubis, Azhar. Implementasi Komunikasi Islam Qaulan Maysuran dalam Membentuk Kesantunan Berbahasa di Bank Sumut. Jurnal An Nasyr: Jurnal Dakwah dalam Mata Tinta, Vol 5 No 1, Januari (2024)
Asyura, Khairun. “Pesan Dakwah Qaulan Maysura pada Seksi Jamaah (Studi Analisis di Dayah Putri Muslimat)”, An-Nasyr, Vol. 8 No. 1 (2021)