Mendengar kata revolusi sepertinya kini pikiran tertuju ke Hari Kemerdekaan RI yang sebentar lagi kita peringati. Tapi, revolusi seperti apa yang ingin kita perjuangkan? Kok seperti zaman pra-kemerdekaan saja, ya? Sebagai insan komunikasi ya kita coba bergerak ke pemikiran revolusi komunikasi saja dulu, baru perlahan beralih pada aksi yang nyata.
Dalam pemikiran saya revolusi komunikasi (RK) merujuk pada konsep “revolusi”, yaitu suatu perubahan drastis atau radikal dan cepat yang bersifat progres. Lawan katanya adalah evolusi sebagai perubahan yang bersifat lambat. Revolusi komunikasi ini ingin coba digaungkan Gerakan Cerdas Komunikasi Indonesia (GCKI) yang ditujukan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru yang berkomunikasi cerdas emosional dan spiritual. sesuai dengan kondisi nyata di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan tujuan lebih memperkokoh kedaulatan, meningkatkan daya saing, dan mempererat persatuan bangsa. Nilai-nilai esensial komunikasi itu meliputi etos kemajuan dalam bidang komunikasi, etika kerja yang santun, motivasi berprestasi di bidang komunikasi dan multimedia, disiplin, taat hukum dan aturan, berpandangan optimistis, produktif-inovatif, adaptif, kerja sama dan gotong-royong, serta berorientasi pada kebajikan publik dan kemaslahatan umum.
Adapun unsur emosional dan spiritual terlibat dalam revolusi komunikasi untuk mempertegas bahwa semua pola bicara, pikiran, dan aksi kita selaras dengan jiwa yang sehat dan eratnya tali yang kita pegang pada Sang Khalik. Emosional dan spiritual adalah revering to the mind and Allah Swt., artinya terkait dengan akal (pikiran atau rasio), jiwa, hati (qalbu), dan etika (moral) atau tingkah laku serta ikatan yang kuat dengan Sang Pencipta. Satu-kesatuan inilah yang membentuk komunikasi yang revolusioner atau kepribadian (self image) bangsa Indonesia yang ideal. Dan citra diri baik atau buruk tergantung pada komunikasi yang dibangun.
Kemudian apa dasar pemikiran revolusi komunikasi yang disodorkan GCKI kepada bangsa ini? Pemikiran dasarnya mengacu pada pendekatan kebangsaan dan kagamaan yang menghendaki terwujudnya perdamaian atas dasar penghormatan pada etnik, kebudayaan, bahasa, dan agama. Jadi, inti revolusi komunikasi adalah persamaan dalam kebinekaan. Awalnya kata-kata revolusi komunikasi ini muncul pada saat bangsa ini semakin terpecah-belah, hiruk-pikuk kebencian kerap muncul di media sosial dan lingkungan sekitar, hoaks dan kasus SARA merebak, pembunuhan juga semakin meningkat karena masalah komunikasi yang salah dan di era kekuasaan Jokowi ini permasalahan publik itu sering kali tidak ditanggapi secara serius. Revolusi komunikasi dari GCKI ini menjadi usulan solusi penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini. Dalam sebuah acara di TV swasta saya pernah menonton Jokowi mengatakan ingin mengubah mental orang Indonesia yang cenderung tidak percaya diri menghadapi dunia. Dia menjelaskan keinginannya untuk mentransformasi masyarakat. Dia menyebutnya sebagai “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian”. Nah, kita sebagai bagian dari bangsa yang berdaulat mencoba mencari cara untuk bisa mewujudkan keinginan seorang presiden ini, bukan dengan cara mencari celah kesalahannya, tetapi berupaya membuktikan diri sebagai bangsa yang cerdas.
Beberapa pemikiran revolusi komunikasi ini bisa dijelaskan secara sederhana sebagai berikut.
- Upaya untuk mengubah kebiasaan komunikasi dan kerangka pemikiran sehari-hari masyarakat yang berdampak luas bagi publik.
- Proses menghasilkan manusia merdeka, bagaimana mendidik manusia yang mengerti dirinya, mengerti keindonesiaannya melalui kebersuaraanya.
- Transformasi pengertian dan pemahaman mengenai politik dari isu kekuasaan menjadi pelayanan publik.
- Perubahan pikir para penguasa menyangkut orientasi politik, perubahan sikap pejabat publik dan politik partisan.
- Tidak hanya menyangkut pola pikiran, tetapi juga perubahan struktural dalam interaksi sosial yang dominan di masyarakat, yaitu komunikasi, hubungan kekuasaan, dan moralitas.
- Pengembangan sikap anti-hal-hal negatif.
Revolusi komunikasi menuntut perubahan pada dua tatanan sosial politik, yaitu pada para pejabat (pembuat, pelaksana kebijakan, dan semua yang terkait dengan posisi pemerintahan) dan rakyat sebagai warga negara. Oleh karena itu, perubahan juga harus diarahkan pada kedua tatanan tersebut: bagaimana penguasa menjadi pelindung dan pelayan publik yang cakap dan santun dalam tindak dan ucapan serta bagaimana rakyat dapat menjadi warga negara yang terlindungi, terjamin hak-haknya, dan bertanggung jawab pada lingkungannya. Revolusi komunikasi dari GCKI ini mengingatkan betapa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Namun kebesarannya selama ini seperti tertutup oleh kondisi belum merdeka sepenuhnya yang tecermin dari komunikasi warganya: kebebasan pendapat, dinamika media sosial yang cenderung negatif, masalah keluarga, dan lainnya. Salah satu yang paling menonjol adalah sifat minder atau tidak percaya diri di hadapan bangsa lain karena kemampuan komuniksi dan bahasa. Suatu sikap yang menyebabkan warga negara Indonesia cenderung menerima segala sesuatu dari luar sebagai baik, bagus, benar, dan perlu diadopsi. Kemerdekaan sejati, yang merujuk pada aktualisasi diri sebagai pribadi yang mandiri, tidak pernah tercapai karenanya. Selain itu adanya sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang penuh kepalsuan alias kebohongan publik. Indikator keberhasilan ditempatkan sebagai patokan keberhasilan dari program. Akibatnya, setiap laporan dari penyelenggara negara seperti harus tampil bagus. Masalah-masalah, sebaiknya, tidak ada. Kalau perlu, dibuatkan laporan fiktif untuk mendapatkan kesan positif.
Jadi, perlukah kita berevolusi komunikasi sekarang? Jangan tunggu nanti karena waktu tak bisa berhenti. Ajak semua orang terdekat untuk melakukan revolusi komunikasi, meski hanya dengan mengajak untuk “jangan bohong” dan “tidak perlu malu untuk ‘nembak’ sang pacar”. Hahaha. Merdeka! (Bersambung)