TRADISI KOMUNIKASI: SOSIOPSIKOLOGIS
DALAM BINGKAI KETUHANAN YANG MAHA ESA
GCKI-BOOK
Implementasi keyakinan pada sila pertama dari Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa” (KYME), dalam tataran tradisi sosiopsikologis menurut (Griffin, 2006) dapat dilihat dari gaya komunikasi para pelaku komunikasi (komunikator). Dalam ranah komunikasi, tujuan di balik tradisi ini adalah untuk memahami bagaimana dan mengapa komunikator berprilaku tertentu (menentang atau menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Esa).
Untuk lebih mendalami tradisi sosiopsikologis sebagai pendekatan dalam menelisik pelaku komunikasi, ada beberapa jenis teori besar dalam tradisi ini, yaitu Teori Sifat (trait theory), Teori Kognisi (cognitive theory), dan Teori Pengolahan Informasi. Tradisi sosiopsikologis dalam teori komunikasi menitikberatkan pada perilaku individu sebagai makhluk sosial dengan fokus pada variabel psikologis, efek individu, kepribadian, sifat, persepsi, dan kognisi.
Teori Sifat: Pelaku Komunikasi dalam Menjalankan KYME
Selebritas, pendakwah dan rohaniwan, presiden, politisi, akademisi, budayawan, advokat, musikus, aktivis, mahasiswa, sopir angkot, tukang jamu, dan unsur masyarakat lainnya adalah komunikator yang dianugerahi sifat (trait) oleh Sang Maha Esa. Tidak ada seorang manusia pun yang tak memiliki sifat. Karena itulah sifat memiliki fungsi penentu pada diri manusia. Memang, sebagaimana ditegaskan Cattell (dalam A. Hjelle dan Ziegler, 1992: 270), keberadaan sifat "within person" (trait) ini tidak bersemayam dalam saraf atau hal yang tak berwujud, tetapi mewujud dalam sikap atau perilaku. Artinya ukuran sifat terletak pada perilaku yang tampak (overt behavior). Misalnya seorang public relations officer (atau staf humas) bisa asyik diajak bercanda, funky, styles, tetapi ia juga pancasilais dan rajin beribadah. Perilaku yang ditentukan oleh sifat dirinya ini adalah suatu karakteristik yang menetap pada perilaku individu dalam situasi yang beragam dan luas. Artinya faktor situasi tidak akan bisa dilepaskan dari sifat individu (Krech dan Crutchfield, 1970: 386).
Teori sifat dalam tradisi sosiopsikologis yang dikaitkan dengan berketuhanan Yang Maha Esa ini menjelaskan bahwa ketaatan dan konsitensi dalam menjalankan sila KYME akan dipengaruhi sifat atau karakteristik individu itu sendiri. Apakah sila pertama dari Pancasila itu memengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bertingkah laku secara konsisten dalam situasi keberagamaannya? Sifat ini sering digunakan untuk memprediksi perilaku, terutama dalam konteks komunikasi.
Beberapa aspek penting dari teori sifat meliputi:
- Karakteristik individu: Sifat seperti ekstraversi, neurotisisme, dan keterbukaan berpengaruh pada cara seseorang menjalankan Ketuhanan Yang Maha Esa-nya, mengomunkasikan sila pertama ini dengan sesamanya untuk saling memperkuat nilai-nilai dan maknanya, dan merespons informasi-informasi yang terkait dengan peristiwa yang berkaitan dengan sila pertama, misalkan moderasi beragama, toleransi beragama, penistaan beragama.
- Prediksi perilaku: Gabungan antara faktor situasi dan sifat individu menentukan perilaku dalam berketuhanan Yang Maha Esanya. Misalnya, seseorang dengan sifat ekstrovert cenderung lebih aktif dalam menyebarkan nilai-nilai sila pertama ini dalam bentuk kajian, menulis buku dan menulis di media sosial, memiliki jaringan yang kuat dan luas dengan orang-orang atau kelompok yang sevisi dan misi dalam moderasi beragama atau keutuhan Pancasila.
- Pengaruh dalam komunikasi: Sifat individu memengaruhi bagaimana pesan Ketuhanan Yang Maha Esa diproses dan disampaikan serta bagaimana respons diberikan dalam situasi komunikasi, misalnya di kelas, di majelis, di seminar, di organisasi.
Teori Kognisi: Cara Berpikir dalam Berketuhanan YME
Teori kognisi berfokus pada bagaimana individu memperoleh, menyimpan, dan memproses informasi untuk menghasilkan perilaku. Dalam konteks komunikasi, teori ini menjelaskan proses mental yang terjadi saat seseorang menerima dan menanggapi pesan yang berkaitan dengan sila pertama dari Pancasila ini.
Beberapa poin penting dari teori kognisi meliputi:
- Pemrosesan informasi: Individu menggunakan operasi mental untuk mengelola pesan-pesan, nilai-nilai, dan aksi-aksi seputar pernyataan. Misalnya Menteri Agama RI di era Jokowi pada soal seputar azan atau peristiwa-peristiwa yang menyangkut kehidupan beragama dan keyakinan bangsa Indonesia. Artinya ia sangat memiliki perhatian, ingatan, dan interpretasi yang baik dalam menyikap kehidupan Ketuhanan YME.
- Skema dan heuristik: Skema membantu individu memproses pesan, nilai-nilai, dan peristiwa tentang perselisihan masyarakat dalam pendirian rumah ibadah pada masyarakat Indonesia secara cepat, meskipun dapat menyebabkan kesalahan interpretasi. Heuristik adalah aturan sederhana yang digunakan untuk membuat keputusan cepat.
- Pengaruh afek dan kognisi: Suasana hati dan emosi memengaruhi cara pesan-pesan, nilai-nilai, dan peristiwa kehidupan beragama masyarakat Indonesia diproses dan diingat. Misalnya, suasana hati yang baik cenderung membuat seorang Presiden Prabowo lebih optimistis dalam menyikapi maraknya hatespeech berbasis agama di media sosial sesuai dengan nilai-nilai sila pertama bagi stabilitas negaranya.
Teori Pengolahan Informasi: Perilaku dalam Berketuhanan YME
Teori pengolahan informasi menjelaskan bagaimana individu mengelola pesan-pesan, nilai-nilai, dan peristiwa yang berkaitan dengan keyakinan dan keberagamaan di tanah air ini untuk menghasilkan respons atau perilaku tertentu dari orang lain. Teori ini berkaitan erat dengan teori kognisi dan meliputi:
- Input dan output informasi: Proses pengolahan informasi melibatkan input (informasi yang diterima) dan output (perilaku atau respons). Proses ini sering terjadi di luar kesadaran individu. Misalnya, seorang teman kampus yang tanpa diperintah atau dikomando dosen atau sesama teman memposting tulisan, bahkan merekam video opininya di media sosial tentang betapa geram dan sedihnya menyaksikan adik-adiknya yang dilecehkan di pesantren oleh para ustaznya.
- Model strategi pilihan: Individu memilih strategi tertentu untuk mengelola pesan, seperti menggunakan model penyusunan tindakan atau model pemaknaan semantik. Misalnya, seorang ayah yang mencoba menerapkan disiplin dalam beribadah atau salat lima waktu kepada anak-anaknya yang keranjingan gadget dengan melihat perilaku anak-anaknya sering melalaikan salat dan ibadah di rumah.
- Pengaruh biologis: Faktor genetik dan neurobiologis juga memengaruhi cara individu memproses informasi, yang menunjukkan bahwa pengolahan informasi tidak hanya dipengaruhi oleh pembelajaran atau situasi, tetapi juga oleh faktor bawaan sejak lahir. Misalkan, seorang Gubernur Jawa Barat, Kang Deddy Mulyadi (KDM) yang memiliki karakter kepemimpinan yang energik, kepedulian tinggi, dan ramah kepada masyarakatnya, khusus pada masalah menyikapi tuduhan kafir dan musyrik pada penghormatan dan kecintaannya kepada leluhur Sunda.
Perangkum: Alfiera Meutia
Editor: Bahtiar Heraudie (Tim Redaksi Gerakan Cerdas Komunikasi Indonesia/GCKI)
Dari buku Teori Komunikasi dalam Lima Sila: Implementasi dalam Kehidupan Berbangsa, Penulis Ellys Lestari Pambayun, Penerbit Simbiosa Rekatama, Bandung Tahun 2024